MALIN KUNDANG
Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.
Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.
Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.
Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.
Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah
cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut,
semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang.
Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh.
Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata
Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
SUNGAI JODOH
Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami
seorang gadis yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah
tangga dari seorang majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang
putri bernama Siti Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian
majikannya di sebuah sungai. “Ular…!” teriak Mah Bongsu ketakutan ketika
melihat seekor ulat mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia
berenang ke sana ke mari sambil menunjukkan luka di punggungnya. Mah
Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan
membawanya pulang ke rumah.
“Yang
penting sekarang ini, kita tidak dirugikan,” kata Mak Ungkai kepada
tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima
kasih kepada Mah Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan
mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga
membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain yang
memang membutuhkan bantuan. “Mah Bongsu seorang yang dermawati,” sebut
mereka.
Mak
Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun
mendapatkan seekor ular berbisa. “Dari ular berbisa ini pasti akan
mendatangkan harta karun lebih banyak daripada yang didapat oleh Mah
Bongsu,” pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya
ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. “Saya takut! Ular
melilit dan menggigitku!” teriak Siti Mayang ketakutan. “Anakku, jangan
takut. Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun,” ucap Mak
Piah.
Ular
segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud
menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti
itu pun berubah wujud menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di
halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nam desa
“Tiban” asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan keberuntungan
atau mendapat kebahagiaan.
Akhirnya,
Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersbut. Pesta
pun dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan
ditampilkan. Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan ucapan
selamat.
Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang
cantik-cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia
terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk
mendidik anak-anaknya. Istri sang raja sudah meninggal dunia ketika
melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja diasuh oleh
inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya
suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu
ayah mereka. Pertengkaran sering terjadi diantara mereka.
Kakak-kakak
Puteri Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. “Lihat
tampaknya kita punya pelayan baru,”kata seorang diantaranya. “Hai
pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil
melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan.
Puteri Kuning diam saja dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut
terjadi berulang-ulang sampai Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia
bisa merasakan penderitaan para pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai
perintah kakak-kakaknya.
Raja
memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun
benda itu tak pernah ditemukannya. “Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu
hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang berwarna
kuning,” kata Puteri Kuning dengan lemah lembut. “Yang penting, ayah
sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,” ucapnya lagi.
Ketika Puteri Kuning sedang membuat the, kakak-kakaknya berdatangan.
Mereka ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat
pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya. Keesokan hari, Puteri
Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. “Wahai adikku,
bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku
adalah Puteri Hijau!” katanya dengan perasaan iri.
Suatu
hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja
heran melihatnya. “Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri,
daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih
kekuningan dan sangat wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri
Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!” kata raja dengan senang.
Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan, bunga-bunga
kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya dipakai
untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat
orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan
kebaikan.
Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat
bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi
nama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu Ia berburu dengan
ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu,
bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.
Pada
suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan
buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika kembali ke
istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main
marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia
memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya.
Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi mengembara.
Pada
suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong
Dayang Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang
Sumbi ketika melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu
persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama
diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah
anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan. Maka kemudian ia mencari daya
upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia mengajukan dua buah
syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum.
Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk
menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum
fajar menyingsing.
Dengan
kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir
besar melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang
dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang
bernama “Tangkuban Perahu.”
Dahulu,
terdapat sebuah negeri yang bernama negeri Luwu, yang terletak di pulau
Sulawesi. Negeri Luwu dipimpin oleh seorang raja yang bernama La
Busatana Datu Maongge, sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Karena
sikapnya yang adil, arif dan bijaksana, maka rakyatnya hidup makmur.
Sebagian besar pekerjaan rakyat Luwu adalah petani dan nelayan. Datu
Luwu mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik, namanya Putri
Tandampalik. Kecantikan dan perilakunya telah diketahui orang banyak.
Termasuk di antaranya Raja Bone yang tinggalnya sangat jauh dari Luwu.
Keesokan
harinya, terjadi kegaduhan di negeri Luwu. Putri Tandampalik jatuh
sakit. Sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan
sangat menjijikkan. Para tabib istana mengatakan Putri Tandampalik
terserang penyakit menular yang berbahaya. Berita cepat tersebar. Rakyat
negeri Luwu dirundung kesedihan. Datu Luwu yang mereka hormati dan
Putri Tandampalik yang mereka cintai sedang mendapat musibah. Setelah
berpikir dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan
anaknya. Karena banyak rakyat yang akan tertular jika Putri Tandampalik
tidak diasingkan ke daerah lain. Keputusan itu dipilih Datu Luwu dengan
berat hati. Putri Tandampalik tidak berkecil hati atau marah pada
ayahandanya. Lalu ia pergi dengan perahu bersama beberapa pengawal
setianya. Sebelum pergi, Datu Luwu memberikan sebuah keris pada Putri
Tandampalik, sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan apalagi
membuang anaknya.
Setelah
berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan sebuah
pulau. Pulau itu berhawa sejuk dengan pepohonan yang tumbuh dengan
subur. Seorang pengawal menemukan buah Wajao saat pertama kali
menginjakkan kakinya di tempat itu. “Pulau ini kuberi nama Pulau Wajo,”
kata Putri Tandampalik. Sejak saat itu, Putri Tandampalik dan
pengikutnya memulai kehidupan baru. Mereka mulai dengan segala
kesederhanaan. Mereka terus bekerja keras, penuh dengan semangat dan
gembira.
Sementara,
nun jauh di Bone, Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu. Ia
ditemani oleh Anre Pguru Pakanranyeng Panglima Kerajaan Bone dan
beberapa pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota tidak sadar
kalau ia sudah terpisah dari rombongan dan tersesat di hutan. Malam
semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara
hewan malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di kejauhanm, ia
melihat seberkas cahaya. Ia memberanikan diri untuk mencari dari mana
asal cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal dari sebuah perkampungan
yang letaknya sangat jauh. Sesampainya di sana, Putra Mahkota memasuki
sebuah rumah yang nampak kosong. Betapa terkejutnya ia ketika melihat
seorang gadis cantik sedang menjerang air di dalam rumah itu. Gadis
cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik.
Datu
Luwu dan permaisuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu
Luwu merasa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur
kata lembut, sopan dan penuh semangat. Maka ia pun menerima keris pusaka
itu dengan tulus. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang
mengunjungi pulau Wajo untuk bertemu dengan anaknya. Pertemuan Datu Luwu
dan anak tunggal kesayangannya sangat mengharukan. Datu Luwu merasa
bersalah telah mengasingkan anaknya. Tetapi sebaliknya, Putri
Tandampalik bersyukur karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular
yang dideritanya. Akhirnya Putri Tandampalik menikah dengan Putra
Mahkota Bone dan dilangsungkan di Pulau Wajo. Beberapa tahun kemudian,
Putra Mahkota naik tahta. Beliau menjadi raja yang arif dan bijaksana.
Di
sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang
petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia
bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah.
Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih
hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing
ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,”
gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya
dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik
kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan
cukup besar.
Ia
takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna
kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol
memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku
akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut
terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan
yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan
itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah
aku?,” gumam petani.
Setelah
sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita
bersama petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,”
gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami
yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah
dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya,
petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan
mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan
usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk halus! ”
kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan
Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin
bekerja.
Memang
kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani
itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan
minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak
memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan
haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang
bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak
tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si
Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Beberapa
abad yang lalu tersebutlah Kesultanan Kartasura. Kesultanan sedang
dilanda kesedihan yang mendalam karena permaisuri tercinta sedang sakit
keras. Pangeran sudah berkali-kali memanggil tabib untuk mengobati sang
permaisuri, tapi tak satupun yang dapat mengobati penyakitnya. Sehingga
hari demi hari, tubuh sang permaisuri menjadi kurus kering seperti
tulang terbalutkan kulit. Kecemasan melanda rakyat kesultanan Kartasura.
Roda pemerintahan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Hamba
sarankan agar Tuanku mencari tempat yang sepi untuk memohon kepada Sang
Maha Agung agar mendapat petunjuk guna kesembuhan permaisuri,” kata
penasehat istana.
Keesokannya, Pangeran Kartasura menugaskan Adipati Surti untuk
mengambil bunga karang tersebut. Adipati Surti memilih dua orang
pengiring setianya yang bernama Sanglar dan Sanglur. Setelah beberapa
hari berjalan, akhirnya mereka tiba di karang bolong. Di dalamnya
terdapat sebuah gua. Adipati Surti segera melakukan tapanya di dalam gua
tersebut. Setelah beberapa hari, Adipati Surti mendengar suara
seseorang. “Hentikan semedimu. Aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi
harus kau penuhi dahulu persyaratanku.” Adipati Surti membuka matanya,
dan melihat seorang gadis cantik seperti Dewi dari kahyangan di
hadapannya. Sang gadis cantik tersebut bernama Suryawati. Ia adalah abdi
Nyi Loro Kidul yang menguasai Laut Selatan.
Syarat
yang diajukan Suryawati, Adipati harus bersedia menetap di Pantai
Selatan bersama Suryawati. Setelah lama berpikir, Adipati Surti
menyanggupi syarat Suryawati. Tak lama setelah itu, Suryawati
mengulurkan tangannya, mengajak Adipati Surti untuk menunjukkan tempat
bunga karang. Ketika menerima uluran tangan Suryawati, Adipati Surti
merasa raga halusnya saja yang terbang mengikuti Suryawati, sedang raga
kasarnya tetap pada posisinya bersemedi. “Itulah bunga karang yang dapat
menyembuhkan Permaisuri,” kata Suryawati seraya menunjuk pada sarang
burung walet. Jika diolah, akan menjadi ramuan yang luar biasa
khasiatnya. Adipati Surti segera mengambil sarang burung walet cukup
banyak. Setelah itu, ia kembali ke tempat bersemedi. Raga halusnya
kembali masuk ke raga kasarnya.
Adipati
Surti mengajak kedua pengiringnya untuk pergi bersamanya. Setelah
berpikir beberapa saat, Sanglar dan Sanglur memutuskan untuk ikut
bersama Adipati Surti. Setibanya di Karang Bolong, mereka membuat sebuah
rumah sederhana. Setelah selesai, Adipati Surti bersemedi. Tidak berapa
lama, ia memisahkan raga halus dari raga kasarnya. “Aku kembali untuk
memenuhi janjiku,” kata Adipati Surti, setelah melihat Suryawati berada
di hadapannya. Kemudian, Adipati Surti dan Suryawati melangsungkan
pernikahan mereka. Mereka hidup bahagia di Karang Bolong. Di sana mereka
mendapatkan penghasilan yang tinggi dari hasil sarang burung walet yang
semakin hari semakin banyak dicari orang.
Dahulu
kala, ada seorang pemuda yang tampan dan gagah. Ia bernama Awang Sukma.
Awang Sukma mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun
melihat aneka macam kehidupan di dalam hutan. Ia membangun sebuah rumah
pohon di sebuah dahan pohon yang sangat besar. Kehidupan di hutan rukun
dan damai. Setelah lama tinggal di hutan, Awang Sukma diangkat menjadi
penguasa daerah itu dan bergelar Datu. Sebulan sekali, Awang Sukma
berkeliling daerah kekuasaannya dan sampailah ia di sebuah telaga yang
jernih dan bening. Telaga tersebut terletak di bawah pohon yg rindang
dengan buah-buahan yang banyak. Berbagai jenis burung dan serangga hidup
dengan riangnya. “Hmm, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini
menyimpan keindahan yang luar biasa,” gumam Datu Awang Sukma.
Keesokan
harinya, ketika Datu Awang Sukma sedang meniup serulingnya, ia
mendengar suara riuh rendah di telaga. Di sela-sela tumpukan batu yang
bercelah, Datu Awang Sukma mengintip ke arah telaga. Betapa terkejutnya
Awang Sukma ketika melihat ada 7 orang gadis cantik sedang bermain air.
“Mungkinkah mereka itu para bidadari?” pikir Awang Sukma. Tujuh gadis
cantik itu tidak sadar jika mereka sedang diperhatikan dan tidak
menghiraukan selendang mereka yang digunakan untuk terbang, bertebaran
di sekitar telaga. Salah satu selendang tersebut terletak di dekat Awang
Sukma. “Wah, ini kesempatan yang baik untuk mendapatkan selendang di
pohon itu,” gumam Datu Awang Sukma.
Namun,
pada suatu hari seekor ayam hitam naik ke atas lumbung dan mengais padi
di atas permukaan lumbung. Putri Bungsu berusaha mengusir ayam
tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bumbung bambu yang
tergeletak di bekas kaisan ayam. “Apa kira-kira isinya ya?” pikir Putri
Bungsu. Ketika bumbung dibuka, Putri Bungsu terkejut dan berteriak
gembira. “Ini selendangku!, seru Putri Bungsu. Selendang itu pun
didekapnya erat-erat. Perasaan kesal dan jengkel tertuju pada suaminya.
Tetapi ia pun sangat sayang pada suaminya.
Akhirnya
Putri Bungsu membulatkan tekadnya untuk kembali ke kahyangan. “Kini
saatnya aku harus kembali!,” katanya dalam hati. Putri Bungsu segera
mengenakan selendangnya sambil menggendong bayinya. Datu Awang Sukma
terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas
tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri Bungsu.
Datu Awang Sukma menyadari bahwa perpisahan tidak bisa dielakkan.
“Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik,” kata Putri
Bungsu kepada Datu Awang Sukma.” Pandangan Datu Awang Sukma menerawang
kosong ke angkasa. “Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji
kemiri, dan masukkan ke dalam bakul yang digoncang-goncangkan dan
iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda akan segera datang
menemuinya,” ujar Putri Bungsu.
Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.
Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.
Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.
Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.
Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Maling kundang anak durhaka
Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?, katanya sambil memeluk Malin Kundang.
Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh.
Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku, kata Malin Kundang pada ibunya.
Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping.
Wanita itu ibumu?, Tanya istri Malin Kundang.
Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku, sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata
Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu.
Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
SUNGAI JODOH

Mah
Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi
sehat dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi
sedikit. Mah Bongsu memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian
dibakarnya. Ajaib… setiap Mah Bongsu membakar kulit ular, timbul asap
besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat
tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang,
mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya
mengarah ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung.
Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebih
Mak Piah Majikannya.
Kekayaan
Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya.. “Pasti Mah Bongsu memelihara
tuyul,” kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan
istrinya itu. “Bukan memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku!
Banyak orang menjadi penasaran dan berusaha menyelidiki asal usul harta
Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu ternyata tidak
mudah. Beberapa hari orang dusun yang penasaran telah menyelidiki
berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.

Karena
merasa tersaingi, Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa
tersaingi. Hampir setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu.
“Wah, ada ular sebesar betis?” gumam Mak Piah. “Dari kulitnya yang
terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun?” gumamnya lagi.
“Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu,” ujar Mak
Piah.

Sementara
itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin
menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman
untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut. “Jangan terkejut. Malam ini
antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu,” kata ular yang
ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu
ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. “Mah
Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau
berikan padaku,” ungkap ular itu. “Aku ingin melamarmu dan menjadi
istriku,” lanjutnya. Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab
sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.


Dibalik
kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba
sedang dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal
dipatok ular berbisa.
Konon,
sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud
menjadi pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga
sungai itu disebut “Sungai Jodoh”.
Moral :
Sikap tamak, serakah akan mengakibatkan kerugian pada diri sendiri.
Sedang sikap menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela
berkorban demi sesama yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.
2
Mar
Hikayat Bunga Kemuning

Kesepuluh
puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri
Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau,
Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning,
Baju yang mereka pun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu,
sang raja yang sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun
kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda,
Ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan
tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka bebergian dengan inang
pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.
Pada
suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua
puteri-puterinya. “Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang
kalian inginkan?” tanya raja. “Aku ingin perhiasan yang mahal,” kata
Puteri Jambon. “Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Puteri
Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda
mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri Kuning. Ia berpikir sejenak,
lalu memegang lengan ayahnya. “Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan
selamat,” katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan mencemoohkannya. “Anakku,
sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat
dan kubawakan hadiah indah buatmu,” kata sang raja. Tak lama kemudian,
raja pun pergi.
Selama
sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering
membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka.
Karena sibuk menuruti permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak
sempat membersihkan taman istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya
karena taman adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri
Kuning mengambil sapu dan mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering
dirontokkannya, rumput liar dicabutnya, dan dahan-dahan pohon
dipangkasnya hingga rapi. Semula inang pengasuh melarangnya, namun
Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya.

“Kalian
ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa
untuk kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!” Kata Puteri Kuning dengan
marah. “Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!” ajak Puteri
Nila. Mereka meninggalkan Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang
terjadi setiap hari, sampai ayah mereka pulang. Ketika sang raja tiba di
istana, kesembilan puteri nya masih bermain di danau, sementara Puteri
Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu, raja
menjadi sangat sedih. “Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu
memberi apa-apa selain kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning
kesayanganmu!” kata sang raja.

Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu,” sahut Puteri Kuning.
Mendengarnya, Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari
saudara-saudaranya dan menghasut mereka. “Kalung itu milikku, namun ia
mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya berbuat baik!” kata
Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu. Tak lama
kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul
kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan Puteri Kuning
meninggal. “Astaga! Kita harus menguburnya!” seru Puteri Jingga. Mereka
beramai-ramai mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana.
Puteri Hijau ikut mengubur kalung batu hijau, karena ia tak
menginginkannya lagi.
Sewaktu
raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi.
Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. “Hai para
pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!” teriaknya. Tentu saja tak
ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu,
berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih.
“Aku ini ayah yang buruk,” katanya.” Biarlah anak-anakku kukirim ke
tempat jauh untuk belajar dan mengasah budi pekerti!” Maka ia pun
mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja
sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan Puteri
Kuning yang hilang tak berbekas.

Moral : Kebaikan akan membuahkan hal-hal yang baik, walaupun kejahatan sering kali menghalanginya.
2
Mar
Sangkuriang


Setelah
kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa
dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah
hadiah. Ia akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi. Setelah
bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke
tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total.
Disana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang
Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang
melamarnya. Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun
sangat terpesona padanya.

Malam
itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan
mahluk-mahluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang
Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu
hampir selesai, Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar
kain sutra merah di sebelah timur kota. Ketika menyaksikan warna memerah
di timur kota, Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun
menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia
tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.

2
Mar
Putri Tandampalik

Raja
Bone ingin menikahkan anaknya dengan Putri Tandampalik. Ia mengutus
beberapa utusannya untuk menemui Datu Luwu untuk melamar Putri
Tandampalik. Datu Luwu menjadi bimbang, karena dalam adatnya, seorang
gadis Luwu tidak dibenarkan menikah dengan pemuda dari negeri lain.
Tetapi, jika lamaran tersebut ditolak, ia khawatir akan terjadi perang
dan akan membuat rakyat menderita. Meskipun berat akibat yang akan
diterima, Datu Lawu memutuskan untuk menerima pinangan itu. “Biarlah aku
dikutuk asal rakyatku tidak menderita,” pikir Datu Luwu.
Beberapa
hari kemudian utusan Raja Bone tiba ke negeri Luwu. Mereka sangat sopan
dan ramah. Tidak ada iringan pasukan atau armada perang di pelabuhan,
seperti yang diperkirakan oleh Datu Luwu. Datu Luwu menerima utusan itu
dengan ramah. Saat mereka mengutarakan maksud kedatangannya, Datu Luwu
belum bisa memberikan jawaban menerima atau menolak lamaran tersebut.
Utusan Raja Bone memahami dan mengerti keputusan Datu Luwu. Mereka pun
pulang kembali ke negerinya.


Pada
suatu hari Putri Tandampalik duduk di tepi danau. Tiba-tiba seekor
kerbau putih menghampirinya. Kerbau bule itu menjilatinya dengan lembut.
Semula, Putri Tandampalik hendak mengusirnya. Tapi, hewan itu tampak
jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya ia diamkan saja. Ajaib! Setelah
berkali-kali dijilati, luka berair di tubuh Putri Tandampalik hilang
tanpa bekas. Kulitnya kembali halus dan bersih seperti semula. Putri
Tandampalik terharu dan bersyukur pada Tuhan, penyakitnya telah sembuh.
“Sejak saat ini kuminta kalian jangan menyembelih atau memakan kerbau
bule, karena hewan ini telah membuatku sembuh,” kata Putri Tandampalik
pada para pengawalnya. Permintaan Putri Tandampalik itu langsung
dipenuhi oleh semua orang di Pulau Wajo hingga sekarang. Kerbau bule
yang berada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak.
Di
suatu malam, Putri Tandampalik bermimpi didatangi oleh seorang pemuda
yang tampan. “Siapakah namamu dan mengapa putri secantik dirimu bisa
berada di tempat seperti ini?” tanya pemuda itu dengan lembut. Lalu
Putri Tandampalik menceritakan semuanya. “Wahai pemuda, siapa dirimu dan
dari mana asalmu ?” tanya Putri Tandampalik. Pemuda itu tidak menjawab,
tapi justru balik bertanya, “Putri Tandampalik maukah engkau menjadi
istriku?” Sebelum Putri Tandampalik sempat menjawab, ia terbangun dari
tidurnya. Putri Tandampalik merasa mimpinya merupakan tanda baik
baginya.

“Mungkinkah
ada bidadari di tempat asing begini ?” pikir putra Mahkota. Merasa ada
yang mengawasi, Putri Tandampalik menoleh. Sang Putri tergagap,” rasanya
dialah pemuda yang ada dalam mimpiku,” pikirnya. Kemudian mereka berdua
berkenalan. Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri
Tandampalik merasa pemuda yang kini berada di hadapannya adalah seorang
pemuda yang halus tutur bahasanya. Meski ia seorang calon raja, ia
sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri
Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun tetapi tidak sombong.
Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum
dan langsing menaruh hati.
Setelah
beberapa hari tinggal di desa tersebut, Putra Mahkota kembali ke
negerinya karena banyak kewajiban yang harus diselesaikan di Istana
Bone. Sejak berpisah dengan Putri Tandampalik, ingatan sang Pangeran
selalu tertuju pada wajah cantik itu. Ingin rasanya Putra Mahkota
tinggal di Pulau Wajo. Anre Guru Pakanyareng, Panglima Perang Kerajaan
Bone yang ikut serta menemani Putra Mahkota berburu, mengetahui apa yang
dirasakan oleh anak rajanya itu. Anre Guru Pakanyareng sering melihat
Putra Mahkota duduk berlama-lama di tepi telaga. Maka Anre Guru
Pakanyareng segera menghadap Raja Bone dan menceritakan semua kejadian
yang mereka alami di pulau Wajo. “Hamba mengusulkan Paduka segera
melamar Putri Tandampalik,” kata Anre Guru Pakanyareng. Raja Bone setuju
dan segera mengirim utusan untuk meminang Putri Tandampalik.
Ketika
utusan Raja Bone tiba di Pulau Wajo, Putri Tandampalik tidak langsung
menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka
Kerajaan Luwu yang diberikan ayahandanya ketia ia di asingkan. Putri
Tandampalik mengatakan bila keris itu diterima dengan baik oleh Datu
Luwu berarti pinangan diterima. Putra Mahkota segera berangkat ke
Kerajaan Luwu sendirian. Perjalanan berhari-hari dijalani oleh Putra
Mahkota dengan penuh semangat. Setelah sampai di Kerajaan Luwu, Putra
Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan
menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu.

2
Mar
Asal Usul Danau Toba


“Jangan
takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi
padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis
itu. “Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata
gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka
sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu
mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor
ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.

Setahun
kemudian, kebahagiaan Petan dan istri bertambah, karena istri Petani
melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan
mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang
anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia
mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu
selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat
dimakannya sendiri.
Lama
kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu
pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan
Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar,
walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya.
“Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan
ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.

Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan
istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan
kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras.
Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat
tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk
sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba.
Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir.
Moral : Jadilah seorang yang sabar dan bisa mengendalikan emosi. Dan juga, jangan melanggar janji yang telah kita buat atau ucapkan
1
Mar
Karang Bolong

Tidak
berapa lama, Pangeran Kartasura melaksanakan tapanya. Godaan-godaan
yang dialaminya dapat dilaluinya. Hingga pada suatu malam terdengar
suara gaib. “Hentikanlah semedimu. Ambillah bunga karang di Pantai
Selatan, dengan bunga karang itulah, permaisuri akan sembuh.” Kemudian,
Pangeran Kartasura segera pulang ke istana dan menanyakan hal suara gaib
tersebut pada penasehatnya. “Pantai selatan itu sangat luas. Namun
hamba yakin tempat yang dimaksud suara gaib itu adalah wilayah Karang
Bolong, di sana banyak terdapat gua karang yang di dalamnya tumbuh bunga
karang,” kata penasehat istana dengan yakin.


Setelah
mendapatkan bunga karang, Adipati Surti mengajak kedua pengiringnya
kembali ke Kartasura. Pangeran Kartasura sangat gembira atas
keberhasilan Adipati Surti. “Cepat buatkan ramuan obatnya,” perintah
Pangeran Kartasura pada pada abdinya. Ternyata, setelah beberapa hari
meminum ramuan sarang burung walet, Permaisuri menjadi sehat dan segar
seperti sedia kala. Suasana Kesultanan Kartasura menjadi ceria kembali.
Di tengah kegembiraan tersebut, Adipati Surti teringat janjinya pada
Suryawati. Ia tidak mau mengingkari janji. Ia pun mohon diri pada
Pangeran Kartasura dengan alasan untuk menjaga dan mendiami karang
bolong yang di dalamnya banyak sarang burung walet. Kepergian Adipati
Surti diiringi isak tangis para abdi istana, karena Adipati Surti adalah
seorang yang baik dan rendah hati.

1
Mar
Telaga Bidadari


Mendengar suara dedaunan, para putri
terkejut dan segera mengambil selendang masing-masing. Ketika ketujuh
putri tersebut ingin terbang, ternyata ada salah seorang putri yang
tidak menemukan pakaiannya. Ia telah ditinggal oleh keenam kakaknya.
Saat itu, Datu Awang Sukma segera keluar dari persembunyiannya. “Jangan
takut tuan putri, hamba akan menolong asalkan tuan putri sudi tinggal
bersama hamba,” bujuk Datu Awang Sukma. Putri Bungsu masih ragu menerima
uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun karena tidak ada orang lain maka
tidak ada jalan lain untuk Putri Bungsu kecuali menerima pertolongan
Awang Sukma.
Datu Awang Sukma sangat mengagumi
kecantikan Putri Bungsu. Demikian juga dengan Putri Bungsu. Ia merasa
bahagia berada di dekat seorang yang tampan dan gagah perkasa. Akhirnya
mereka memutuskan untuk menjadi suami istri. Setahun kemudian lahirlah
seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari. Kehidupan
keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia.


Putri Bungsu segera mengenakan
selendangnya dan seketika terbang ke kahyangan. Datu Awang Sukma menap
sedih dan bersumpah untuk melarang anak keturunannya memelihara ayam
hitam yang dia anggap membawa malapetaka.
Pesan moral : Jika kita
menginginkan sesuatu sebaiknya dengan cara yang baik dan halal. Kita
tidak boleh mencuri atau mengambil barang/harta milik orang lain karena
suatu saat kita akan mendapatkan hukuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar